Di kalangan sufi, ada
kisah menarik yang sering diceritakan, terutama menjelang orang mau
berangkat haji. Dalam kisah itu diceritakan tentang dua santri, yaitu Si
Fulan dan Si Rojul. Sebelum menuju ke Tanah Suci, kedua santri itu
tidak lupa sowan dulu, pamitan kepada Kiai, guru yang mereka hormati
yang selama ini menjadi panutan spiritual mereka.
Dengan
senang hati, Sang Guru mendoakan agar kedua santri itu nanti memperoleh
haji mabrur. Sudah tentu, sebagai seorang kiai, selain membekali doa,
biarpun agak singkat, ia juga memberikan nasihat yang penting-penting.
Tetapi, yang selalu ditekankan dalam nasihat itu, Kiai bilang, ingat ya
bekal yang paling pokok menunaikan ibadah haji itu tidak lain adalah
iman dan takwa kita sendiri.
Banyak
orang berhaji, kata Kiai tersebut, hanya datang dengan jasmani, sambil
membawa daftar permintaan dan mengingat-ingat doa apa yang seharusnya
dibaca di tempat-tempat tertentu, tanpa berusaha
secara rohaniah melakukan penyerahan batin dan spiritual sepenuh- penuhnya, sebagai submission kepada Khalik, Tuhan seru sekalian alam.
secara rohaniah melakukan penyerahan batin dan spiritual sepenuh- penuhnya, sebagai submission kepada Khalik, Tuhan seru sekalian alam.
Seusai
mendengarkan nasihat Kiai, dengan rasa hormat dan terharu, kedua santri
tersebut mulailah melakukan perjalanan menuju Mekkah, kota suci, tempat
berdirinya bayt-Allah, kiblat kaum Muslimin di seluruh dunia. Mereka
sengaja berpisah, masing-masing menempuh rutenya sendiri, yang penting
keduanya akan bertemu di tanah haram, agar dalam perjalanan itu ada
pengalaman yang berbeda, ada juga horizon yang berbeda.
Singkat
cerita, selama kedua santrinya pergi haji itu, tidak ada kabar tidak
ada berita. Tahu-tahu, begitu selesai musim haji, eh Si Fulan dan Rojul
datang lagi menemui Kiai-nya.
Dengan
syukur alhamdulillah, Kiai tersebut menyambut, merasa gembira, karena
kedua santri kesayangannya telah pulang. Bagaikan seorang anak yang baru
dilahirkan, Kiai tersebut memandang keduanya dengan mata berseri-seri
karena setiap orang pulang dari haji memang dianggap dosanya lunas,
kembali putih dan bersih seperti warna kapas.
Bahkan, kata Kiai itu, selama 40
hari kepulangannya, Si Fulan dan Rojul masih membawa berkah dan dapat
memberkahi orang lain. Betapa Si Fulan gembira dengan sambutan Kiai-nya
itu. Ia kemudian mulai menceritakan bagaimana perjalanan haji yang telah
ditempuhnya.
Sewaktu
pertama kali masuk Masjidil Haram, ia bilang hampir-hampir tak bisa
melanjutkan langkah kakinya. Dengan nada sedikit terharu, ia
menggambarkan betapa suasana emosionalnya tatkala itu melihat, oh inilah
rumah Tuhan yang didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim AS yang kemudian
menjadi arah sujud berjuta-juta umat Islam sekarang ini. Sambil tak
henti-hentinya membaca subhanallah, Si Fulan menangis tersedu-sedu
karena dalam
hidupnya ternyata, toh, dikaruniai kesempatan bisa datang ke Mekkah,
dan bisa bersembahyang di dekat Kabah dan secara fisik memang sangat
dekat sekali. Si Fulan kemudian melakukan tawaf, mencium Hajar Aswad,
dan tidak lupa ia berdoa di Multazam.
Perasaan
terharu dan sempat menangis yang kedua kalinya adalah tatkala ia
mendaki bukit Rahmah di Arafah. Betapa di tempat itu, ia ingat kisah
Nabi Adam AS yang dipertemukan kembali dengan istrinya setelah turun
dari surga.
Yang
ketiga, dalam seluruh paket perjalanan hajinya itu, Si Fulan juga
mengaku tidak bisa menahan tangisnya sewaktu di Madinah berziarah ke
makam Rasulullah. Sungguh, ujarnya, sebagai seorang pelaku sufi yang
selama ini selalu mendambakan dalam mimpinya agar bisa bertemu Nabi Muhammad, ia merasa bahagia sekali ada di sana, dekat dengan tempat jasad nabi tersebut disemayamkan.
Dengan
rendah hati tampak sekali Si Fulan ingin segera mendapat konfirmasi
dari Kiai-nya, apakah dengan menangis di tiga tempat tadi, hal itu
merupakan tanda-tanda bahwa hajinya mabrur. Dengan agak lamban akhirnya
Kiai menjawab dengan singkat sekali, katanya, ”Insya Allah, insya Allah, Lan.”
Kini,
giliran Si Rojul. Ia bilang, ”Kiai, sebelumnya saya mohon maaf,”
begitulah dengan suara lirih dan nada tampak penyesalan. Dengan jujur
Rojul bilang bahwa perjalanannya ternyata tak sampai ke Tanah Suci.
”Sungguh maaf
Kiai, bekal saya habis di tengah jalan,” ucapnya. Bekal itu, oleh
Rojul, katanya, habis diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang tua
yang lapar, fakir-miskin yang menjumpainya selama dalam perjalanan.
Jadi, alhasil, Si Rojul urung, tidak sampai niatnya ke Mekkah, apalagi
menunaikan wukuf di Arafah dan bisa menziarahi makam Rasulullah. Sambil
terharu dan sedikit terisak-isak, Rojul menyudahi cerita pahitnya itu.
Anehnya, berbeda dengan yang dirasakan oleh Si Rojul, Kiai sepuh yang alim itu, setelah mendengarkan betapa
terjal jalan setapak yang pernah dilalui Rojul menuju ke Tanah Suci
ini, dengan sangat spontan berkomentar, ”Alhamdulillah,” yang
diucapkannya beberapa kali menunjukkan kepuasan batinnya.
”Kau
Rojul,” ungkapnya, ”ternyata telah mengerjakan haji mabrur yang
sesungguh-sungguhnya.” Sebab, tambahnya, ”Kamu dengan niat ikhlas selama
ini ternyata sudah berihram. Memakai pakaian itu dalam hidupmu, dalam hati dan jiwamu, biarpun secara fisik ibadah hajimu belum sampai ke Arafah.”
Dan
kata Kiai ini, memang tidak semua orang yang telah pergi haji
memperoleh makna substantif ibadahnya seperti itu. Sebab, ritual haji,
yang sebenarnya lebih banyak didominasi oleh ibadah gerak untuk
merekonstruksi sejarah kenabian monoteistik itu, jika dilaksanakan tanpa
refleksi, tanpa perenungan kritis, ya bisa saja memuaskan secara
emosional seperti ungkapan tangisnya Si Fulan tadi. Apalagi kalau orang
yang pergi wukuf hanya sekadar ingin mencuci dosa pribadi, maka bunyi
istigfar tak akan membekas secara spiritual dan memberikan implikasi
yang bermakna bagi kehidupan
sosial. Sebab, tanpa kesadaran yang mendalam bahwa noda kesalehan yang
harus kita bersihkan di samping yang sifatnya perorangan, di sana tentu
ada banyak dosa struktural, yakni bagian dari tanggung jawab kita bersama untuk membangun kesetaraan, keadilan, dan keadaban publik.
Dalam hal ini, simbolisasi berpakaian ihram dalam haji, tidak lain, saya kira merupakan pernyataan dan peringatan tentang betapa penting menegakkan secara terus-menerus komitmen keberagamaan dan kesalehan egalitarianistik seperti itu, apalagi dalam kehidupan yang hedonistik dan individualistik sekarang ini.
Masuk
dalam horizon makna yang luas seperti itu adalah pilihan kita. Pilihan
tatkala harus merumuskan diri kita sendiri, apa yang kita maksud dengan ibadah, dengan kesalehan selama ini.
Dan
kisah tentang Kiai dan dua santrinya itu, saya kira tidak lain dan
tidak bukan memberikan pelajaran yang bagus, betapa pentingnya kita
selalu mencari makna yang lebih substantif di luar semaraknya ritual
selama ini, yang ditandai misalnya dengan semakin meningkatnya jumlah
jemaah haji setiap tahun dan bisa jadi akan semakin banyaknya hewan
kurban yang secara seremonial akan kita sembelih, sehabis shalat Idul
Adha besok pagi.
Moeslim Abdurrahman,
Terimakasih atas kunjungan anda